artis-indonesia.net – Proyek Nimbus yang diinisiasi oleh pemerintah Israel menghebohkan publik karena melibatkan dua perusahaan raksasa, yaitu Google dan Amazon. Detail Proyek Nimbus Israel masih misterius dan mengundang spekulasi konspirasi global.
Menurut laporan yang dilansir oleh redaksi artis-indonesia.net, Kamis (6/6/2024), sebuah dokumen pengadaan pemerintah Israel sebanyak 63 halaman telah tersebar dan mengungkapkan bahwa dua produsen senjata terkemuka di Israel diharuskan menggunakan layanan cloud dari Amazon dan Google. Namun, rincian pekerjaan antara kedua penyedia layanan dengan pelanggan Nimbus tidak dijelaskan. Yang pasti, pihak Israel akan mendapatkan layanan perangkat lunak melalui Nimbus.
Para pelanggan Nimbus adalah kementerian, lembaga, dan perusahaan-perusahaan Israel yang bertanggung jawab atas pembuatan drone, rudal, dan senjata lainnya yang digunakan untuk membombardir wilayah Gaza dan warga Palestina. Dilaporkan bahwa sejak 7 Oktober 2023, setidaknya 36.586 orang telah meninggal dunia dan 83.074 lainnya terluka dalam perang Israel di Gaza. Mayoritas korban adalah warga sipil dan anak-anak.
Matt Mahmoudi, peneliti di Amnesty International yang bekerja pada isu-isu teknologi, menyatakan bahwa jika perusahaan teknologi seperti Google dan Amazon terlibat dalam kegiatan bisnis yang dapat berdampak pada warga Palestina di Gaza, mereka harus bertanggung jawab untuk melakukan uji tuntas hak asasi manusia dalam produknya.
Uji tuntas HAM yang dimaksud mencakup bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut berencana untuk mencegah, mengurangi, dan memberikan pemulihan bagi potensi pelanggaran HAM, terutama mengingat hubungan wajib mereka dengan produsen senjata yang berkontribusi pada risiko genosida.
Meskipun spesifikasi Proyek Nimbus sebenarnya hanya menyediakan layanan cloud untuk pemerintah Israel, kehebohan publik telah membuat Google dan Amazon enggan memberikan komentar dan menghadapi reaksi protes jalanan serta boikot dari para pekerja.
Berdasarkan dokumen tender senilai USD1,2 miliar atau Rp2 triliun, sebagian besar terdiri dari rincian hukum dan peraturan yang menjelaskan detil pemerintah Israel akan membeli layanan komputasi awan dari Amazon dan Google. Kontraknya berjalan sejak 2021 dan telah diperbarui secara berkala hingga Oktober 2023. Namun, tidak ada entitas yang dipaksa untuk membeli layanan cloud.
Di sisi lain, terdapat daftar pelanggan wajib yang mencakup entitas negara seperti Bank of Israel, Otoritas Bandara Israel, dan Divisi Pemukiman, badan kuasi-pemerintah yang bertugas memperluas koloni Israel di Tepi Barat. Dua produsen senjata milik negara Israel yang paling terkemuka, Israel Aerospace Industries dan Rafael Advanced Defense Systems, juga masuk dalam daftar pelanggan tersebut.
Google menyatakan bahwa kontrak Proyek Nimbus berjalan di cloud komersial mereka dan pemerintah Israel telah setuju untuk mematuhi Ketentuan Layanan dan Kebijakan Penggunaan mereka. Namun, di seluruh divisi Google, jelas bahwa mereka tidak akan merancang atau menerapkan aplikasi AI sebagai senjata atau sistem senjata, atau untuk pengawasan massal.
Meskipun demikian, militer Israel telah menggunakan pengenalan wajah Google Photos untuk memetakan, mengidentifikasi, dan membuat daftar target warga Palestina di Gaza. Namun, Google tidak mengonfirmasi apakah mereka mengizinkan penggunaan perangkat lunaknya untuk tujuan ini. Baik Google maupun Amazon mengatakan bahwa pekerjaan mereka dipandu oleh Prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dan HAM.
Rafael, kontraktor senjata milik negara yang masuk dalam daftar pelanggan Proyek Nimbus, dikenal sebagai raksasa sektor pertahanan Israel yang menyediakan berbagai rudal, drone, dan sistem senjata lainnya untuk militer Israel. Mereka juga menjual sistem pertahanan roket Iron Dome dan sistem penangkal anti-roket Trophy yang membantu melindungi tank militer Israel selama serangan darat di Gaza. Militer Israel juga menggunakan rudal Spike buatan Rafael yang dapat ditembakkan dari peluncur di bahu, jet, atau drone.