Artis-Indonesia.net – Kebijakan peningkatan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi yang berdasarkan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi dan pernyataan Sesditjen Dikti yang menyatakan bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier, berpotensi memicu konflik sosial dan mereduksi minat masyarakat untuk menempuh pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan kurangnya proses dan penyebaran informasi tentang kebijakan tersebut yang menjadi salah satu faktor pemicu eskalasi konflik. Meskipun pada akhirnya mahasiswa yang melakukan demonstrasi di berbagai wilayah dan berbagai komentar negatif di media sosial dianggap berhasil memaksa pencabutan Permendikbud untuk sementara waktu.
Namun, menurut Konsultan Resolusi Konflik Dina Hidayana, polemik ini seharusnya dapat dijadikan momentum untuk menyelesaikan masalah sistem pendidikan yang lebih mendasar. Termasuk dalam merumuskan hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Dina, yang merupakan alumnus Magister Resolusi Konflik UGM, mengingatkan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal pencapaian pendidikan dan inovasi, bahkan dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang merdeka setelah Indonesia. Hal ini harus menjadi cambuk untuk melakukan perbaikan.
Ketua Depinas SOKSI ini juga menyinggung hasil riset OECD pada tahun 2022 yang menempatkan Indonesia pada peringkat 68 dari 81 negara yang diteliti dalam hal kualitas siswa dan survey PISA 2022 yang dipublikasikan pada 5 Desember 2023. Hasil tersebut menempatkan Indonesia di bawah rata-rata negara-negara Asia Timur, Asia Tenggara, dan Oseania. Bahkan, Indonesia berada di bawah Vietnam dan Filipina dalam hal daya inovasi menurut Indeks Inovasi Global 2023 yang dilaporkan oleh WIPO.
Menurut Dina, hal ini sangat ironis karena sistem pendidikan dasar di Indonesia belum kompetitif dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat. Data PISA 2018 menunjukkan penurunan yang signifikan dalam hasil belajar siswa pada tiga pelajaran, yaitu Membaca, Matematika, dan Sains. Bahkan, hasil belajar Membaca dan Matematika setara dengan tahun 2003, sedangkan hasil belajar Sains setara dengan tahun 2006. Selain itu, kurang dari 18% siswa di Indonesia yang mampu memahami pemodelan berpikir sistematis, kritis, dan menjadi pemecah masalah.
Dina melihat pentingnya tiga cabang ilmu, yaitu Matematika, Sejarah, dan Geografi sebagai dasar kemajuan peradaban, mengacu pada pemimpin revolusioner Napoleon Bonaparte yang berhasil memodernisasi Perancis melalui perombakan sistem pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak warga negara yang menguasai ilmu-ilmu dasar tersebut agar kemajuan bangsa dapat dicapai, terutama dalam menciptakan teknologi baru yang dapat mengatasi kebutuhan dan masalah masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya nasional yang ada.